Datangnya Generasi Bencana

Beberapa waktu lalu kita memiliki satu tokoh kanibal bernama Sumanto, kini ada seorang tokoh lainnya yang dijuluki Sumanti. Kasus Sumanti tak kalah seramnya dengan Sumanto. Sumanti dilaporkan agak terganggu jiwanya dan hamil di luar nikah. Tidak ada orang yang tahu kapan Sumanti melahirkan. Beberapa warga memergoki seorang bayi yang hangus terbakar di dekat kompor serta ditemukan pula potongan beberapa tulang berserakan di dekat tempat Sumanti tergeletak. Ada dugaan Sumanti telah "melahap" anaknya. Na'udzubillahi mindzalik.

Belum lama berselang, seorang ibu di Bandung yang dikenal shalihah, tega membunuh tiga orang anaknya karena khawatir akan masa depan mereka. Hal ini masih diperparah dengan berpulangnya Riza, seorang siswa SMP kelas tiga yang diduga menjadi korban smack down kawan-kawannya.

Di televisi kita pun menyaksikan begitu banyak bayi-bayi kembar siam (dempet) yang lahir di berbagai kota. Selain banyak pula bayi cacat dengan organ atau anggota tubuh tak lengkap yang terlahir dari pasangan yang sempurna. Tak terhitung pula kasus penyakit-penyakit kejiwaan yang menjadi fenomena di masyarakat, mulai dari stres berat, depresi, hingga fenomena bunuh diri.

Dampak kapitalisme

Gejala apakah ini? Bila selama ini kita tak kuasa menyaksikan bencana alam yang datang silih berganti, maka kini tiba saatnya bencana dalam dimensi lain siap menghadang. Itulah bencana dalam dimensi psikobiologis. Sejatinya, fenomena ini berawal dari semakin menggejalanya budaya kapitalisasi dan materialisme. Segala sesuatu kini diukur dengan uang dan kenyamanan. Uang menjelma menjadi tuhan baru. Karena itu, perilaku sebagian besar manusia pun berubah. Penganut gaya hidup instan semakin bertambah. Setiap masalah dan proses kehidupan selalu ingin kita mudahkan, ringkaskan dan cepat diselesaikan.

Fenomena ini mewujud dengan maraknya penggunaan bahan pengawet makanan ilegal, penyedap rasa melebihi takaran, penggundulan hutan, kabut asap, kecelakaan transportasi karena tingginya tingkat kelalaian operator dan rendahnya kualitas infrastruktur. Belum lagi ketidakpastian hukum, praktik korupsi dan budaya menyontek di sekolah serta perguruan tinggi, prostitusi, dan tentu saja praktik-praktik mutilasi harga diri.

Benang merah dari semua subfenomena itu adalah terjadinya pergeseran orientasi di mana tujuan hidup jadi lebih sederhana dan sementara. Hal ini diperparah dengan makin sengitnya perlombaan menuju tercapainya kesejahteraan melalui akses sumber keuangan. Padahal, pergeseran orientasi hidup untuk terus menghamba kepada uang akan melahirkan tekanan beruntun yang akan berakhir dengan depresi.

Pertanyaan berikutnya, mengapa kapitalisasi dapat mempengaruhi kualitas dan derajat kesehatan penduduk Indonesia? Mari kita bayangkan bila semua produsen consumers good serempak janjian dan secara serentak pula menaikkan harga yang mereka anggap pantas, maka kita semua akan tertekan karena faktor pemenuhan kebutuhan semakin sulit dicapai. Dalam kondisi seperti ini hormon cemas kita akan meningkat. Akibatnya sistem pertahanan tubuh pun akan menurun, sehingga kemungkinan mengalami kondisi sakit pun makin bertambah.

Kemungkinan lain adalah over eksploitasi sumber daya alam, hal ini terjadi karena tuntutan kebutuhan sebuah masyarakat konsumer yang pro kapitalis akan terus meningkat. Dampak yang terjadi adalah menurunnya daya dukung lingkungan, semakin bertambahnya upaya-upaya instan dan murah, serta berubahnya pola pengambilan keputusan. Akibat psikobiologis yang dapat teramati adalah banyaknya kelainan genetis yang diakibatkan oleh polutan, makanan yang kurang sehat, dan faktor stres internal.

Sebagian besar kasus-kasus psikobiologis yang terjadi hanyalah sepenggal dari proses panjang investasi bencana di masa yang lalu. Bayi-bayi cacat adalah bentuk pertanggungjawaban kita secara fardhu kifayah karena tidak berperan aktif dalam mengoptimalkan fungsi lingkungan, makanan dan gaya hidup. Meningkatnya persentase pengidap penyakit kelainan jiwa menjadi bagian integratif semua itu. Fenomena Sumanto-Sumanti dan lainnya adalah bagian dari bencana yang kita rancang, kerjakan, dan rasakan sendiri hasilnya. Ketidakpedulian kita selaku khalifah terhadap hal-hal di sekitar kita ternyata berbuah malapetaka.

Dampak media

Malapetaka terbesar yang kini harus kita hadapi adalah dampak media. Bila Riza meninggal karena di-smackdown, maka itu belum seberapa. Sesungguhnya dampak terbesar yang telah ditanamkan acara semacam itu adalah perubahan jaras pengambilan keputusan dan sistem asosiasi preferensi di benak kita. Mereka yang terbiasa mengedepankan lintas pro-adrenergik akan menjadi orang yang menggunakan pendekatan kekerasan, menghalalkan segala jalan, mencari cara termudah, sangat menyukai kesenangan, kenyamanan serta kenikmatan. Dengan kata lain generasi penonton smackdown ini akan tumbuh dan berkembang menjadi generasi hedonis sejati. Kita akan lihat dampaknya 10 atau 20 tahun ke depan saat mereka sudah menjadi golongan pemimpin di berbagai tingkatan.

Lihatlah pengalaman pahit sejarah peradaban umat manusia sebelumnya. Bangsa Romawi menjelang kejatuhannya tergila-gila kepada acara gladiator yang menyabung manusia sampai tewas salah satunya. Lalu di malam-malam hari kota Roma akan menjadi ajang Caligula, pesta seks yang gila-gilaan mengumbar nafsu syahwat. Seiring budaya tersebut, kita pun melihat "kegilaan" lainnya. Eksploitasi kaum perempuan dan perbudakan sesama manusia marak di mana-mana.

Bencana psikobiologis dapat terjadi karena tayangan-tayangan tersebut seolah menjadi materi pembelajaran yang akan langsung diimitasi, direpilkasi, dan dikembangkan. Bahkan sebagian di antaranya diangkat menjadi memori jangka panjang yang sangat menentukan.

Dalam kesempatan ini saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita akan dihisab berdasar aktifitas kita beserta dampaknya lengkap sampai proses turunan dan ikutannya. Para produser acara televisi, pemilik televisi, pelaku atau aktornya, pembawa acara, pegawai transmisi televisi, pemerintah, pengawas pertelevisian, dan tentu juga kita semua yang lalai dengan tidak saling mengingatkan akan dimintai pertanggungjawaban. Tauhid Nur Azhar

No comments:

Post a Comment

Komentar