UN ; Ajang Evaluasi Diri

        
              Saat ini anak sekolah tingkat Menengah Atas mulai disibukkan dengan Ujian Akhir Nasional (UN). Beberapa tahun terakhir, kita tahu bahwa jalan menuju UN ini cukuplah pelik dan mencemaskan. Ada banyak protes dan tuntutan yang beragam. Ada yang mempersoalkan kelulusan yang terkesan "mengejar setoran". Ada yang mempersalahkan sistem pendidikan, karena sekian banyak pelajaran yang dipelajari siswa selama beberapa tahun hanya ditentukan oleh beberapa mata pelajaran, dan berbagai protes serta tuntutan lain.Naif memang, kalau mendengar ada siswa yang biasa masuk ranking 10 besar, dan bahkan pernah meraih emas/perak olimpiade sains, ternyata tidak lulus UN. Sebaliknya sekolah yang terpencil, kurang "bermutu" dan berprestasi, malah siswanya 100 % lulus !
        
UN: Intinya adalah Evaluasi !
Sebelum UN dulu ada istilah Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) yang sebenarnya lebih sarat dengan "makna" daripada Ujian Nasional (UN). Namun yang harus digarisbawahi, bahwa keduanya (EBTANAS & UN) sama-sama merupakan sebuah bentuk EVALUASI.
Diatas semuanya, evaluasi dan refleksi diri setelah UN merupakan hal yang terpenting. Lulus atau tidak, siswa senantiasa dituntut untuk menilai dan mengevaluasi dirinya. Sejauh mana tingkat keseriusannya dalam belajar, ketelitian dalam mengerjakan soal, dan mengevaluasi apa yang menjadi kelemahan dan kekuatannya. Demikian pula dengan stakeholder pendidikan yang lain ; guru, kepala sekolah, dan pemerintah, juga sedianya menjadikan UN ini sebagai ajang untuk mengevaluasi sejauh mana keberhasilan sistem pendidikan yang mereka terapkan untuk para siswa. Bukan sekedar evaluasi "bungkus" tapi evaluasi yang lahir dari refleksi diri sendiri. Kalau untuk mengevaluasi diri saja kita tidak bisa jujur, bagaimana mungkin kita bisa melihat kelemahan dan keunggulan sistem pendidikan yang harus selalu kita perbaiki ke depan.
Kita tidak bisa menutup mata, bahwa memang pada kenyataannya bukan cuma peserta didik, tapi orang-orang yang terlibat dalam pendidikan (pendidik dan tenaga kependidikan) pun banyak yang "bobrok". Ada guru yang sibuk mencari order tambahan dengan alasan gaji kecil dan menelantarkan siswa-siswanya, ada guru yang hobi "jual beli" nilai dengan siswa, entah itu dengan uang atau hal-hal yang lain, ada sekolah yang kalau gurunya ulang tahun berarti siswanya libur, dan bahkan di sekolah-sekolah negeri tidak sedikit guru yang bermental "mengajar atau tidak yang penting gaji ngalir terus". Dan kita tidak bisa menutup mata serta menafikan kenyataan-kenyataan seperti itu. Fakta-fakta yang seharusnya kita evaluasi dan refleksi secara jujur.
Lebih dari itu, pemerintah pun harus menjadikan ajang UN ini sebagai bentuk evaluasi diri. Sudahkah UN menjawab kebutuhan kualitas pendidikan negeri ini (?), Apakah hasil UN dapat mewakili kualitas output pendidikan di Indonesia (?), dan seterusnya. Kejujuran evaluasi inilah yang akan menentukan ke depan. Perbaikan dan perubahan itu perlu, tapi tidak harus menjadikan para siswa yang menjadi generasi negeri ini sebagai kelinci percobaan. Setiap masa, setiap angkatan, harus ditempatkan sebagai "generasi terbaik" yang layak mendapatkan sistem dan pelayanan pendidikan yang terbaik pula.