Kita Bukan Angka

Bangun pagi sekali disambung berkemas menyiapkan diri lalu segera beranjak ke tempat kerja. Beginilah irama pembuka kebanyakan dari kita pada Senin sampai Jum'at atau hingga Sabtu bagi sebagian dari kita.

Sementara Minggu berbeda iramanya, karena hari itu kita jadikan untuk aktivitas bersama-sama keluarga. Bukan hari untuk tempat di mana masing-masing kita bekerja.

Irama itu kelihatan sederhana dan telah berlangsung lama, bahkan tatkala kita kanak-kanak pun sudah melihat orang tua di rumah juga menjalankannya. Mekanis sekali. Namun sungguh nilainya luar biasa karena itu wujud kita bertanggung jawab pada kehidupan sendiri dan keluarga sekarang dan demi masa depan.

Uniknya, kendati yang kita lakukan saat pagi di rumah hampir sama, alasannya lain-lain. Ada yang mengaku karena kantornya menetapkan jam kerja mulai pukul 07.30 dan barang siapa terlambat maka gajinya nanti dikurangi. Ada pula yang bilang kalau sedang mengejar promosi agar memperoleh tambahan fasilitas perusahaan.

Anda pun pasti punya alasan tersediri. Misalnya, lantaran bos Anda galak dan kerap membutuhkan bantuan sewaktu-waktu. Atau, sebaliknya karena atasan Anda begitu baik dan sedang dipandang sehingga ingin cepat berjumpa.

Apapun alasan Anda, giat bekerja boleh-boleh saja dan manusiawi. Sayangnya, segala pandangan tentang kerja itu tidak perlu bagi manajemen tempat kita bekerja. Sebab, ternyata banyak manajemen memandang orang-orang bekerja padanya sebagai salah satu dari sekian faktor yang dilihat dengan angka-angka.

Hal pertama yang dilakukan di tempat kerja adalah mengisi absen, di mana nama setiap orang ditandai dengan nomor tertentu. Kemudian memulai kerja sesuai ruang tangung jawab masing-masing, yang sesungguhnya adalah untuk mencapai target dan mesti menyelesaikannya pada rentang waktu tertentu. Ujung-ujungnya pada tanggal yang ditetapkan Anda menerima gaji, honor atau apapun namanya.

Semua itu ditunjukkan dengan angka. Nyatanya kita memang dinyatakan dengan angka. Kita ini manusia yang dikenali dan mengenali satu sama lain sebagai angka atau nomor. Pada KTP begitu, SIM, alamat dan telepon sampai rekening bank dan banyak lagi tertera angka khusus untuk setiap nama.

Akankah begitu seterusnya? Entah, dan memang bukan itu yang hendak dikemukakan di sini. Anda pasti senang jika ada masanya orang lain memandang Anda bukan sebagai faktor apalagi sekadar sebaris angka. Sebaliknya begitu pun Anda terhadap sekeliling.

Ramadhan sebentar lagi datang. Bulan puasa menjadi waktu bagi kita menghapuskan batasan atau jarak angka-angka tadi. Setiap kali bulan suci datang suasana tempat bekerja terasa lain, kendati yang dikerjakan sama saja. Hanya suasana atau nuansa yang terasa berbeda.

Sesederhana itu. Tapi, justru itulah yang dapat kita manfaatkan untuk membangun hubungan satu sama lain menjadi lebih dekat, akrab, intim, dan lebih bermakna. Selain bekerja guna memenuhi target masing-masing, secara bersama-sama melakukan puasa dalam rangka ibadah.

Jadi, amat pantas jika peristiwa puasa betul-betul dimanfaatkan manajemen untuk membina sumber daya manusia (SDM). Elok sekali bagi manajemen bila dapat sejenak memandang orang-orang di dalamnya lebih luas. Maksudnya, yang tidak terlihat dari laporan di atas kertas dan varibel angka-angka.

Dengan kata lain, saling memberi penghargaan dan pengakuan dengan tulus. Seperti banyak cerita bahwa tepukan di bahu tanda salut atau terima kasih bagi seseorang lebih memuaskan dan makin memotivasi ketimbang perolehan uang.

Seorang teman baru saja pindah ke tempat kerja baru. Sepintas dia seperti menurunkan 'derajat'-nya dari perusahan multinasional yang berkantor di gedung tinggi ke perusahaan baru yang berkantor di rumah. ''Soal berapa (gaji) yang saya dapat sama saja dan yang dilakukan juga sama. Tapi di sini lebih nyaman karena ada keterbukaan dan kekeluargaan sekali. Saya lebih kreatif dan diakui,'' katanya.

Pengalaman teman tadi merupakan kenyataan lain alasan orang giat pergi ke tempat kerja dan bekerja. Yakni, karena suasana yang nyaman dengan hati maupun karakter. Atau, seperti kata yang lain bahwa membangun jalinan kerjasama bisnis tak cukup dengan kesamaan minta pada jenis usahanya apalagi seberapa besar perolehan yang akan diraih.

Tetapi, dia menyebut harus ada kecocokan secara chemistry atau kimiawi. ''Kalau semua 'angka' sudah cocok tapi chemistry kita tidak nyambung, ya tetap sulit untuk hubungan yang langgeng,'' katanya.

Karena itu, ada baiknnya saat puasa yang sebentar lagi datang kita manfaatkan betul untuk memperoleh chemistry dan hubungan dengan hati itu. Sebab, hasilnya juga menunjang kinerja dalam pekerjaan di hari-hari mendatang.

Oleh: Mien R. Uno, Lembaga Pendidikan DUTA BANGSA Empower Yourself *)

Semua Demi Perut

Hari masih pagi benar. Matahari belum lagi menampakkan sinarnya. Di kejauhan nampak seseorang berjalan bergegas sambil membawa kampak. Pak Kyai, demikian, orang ini biasa disapa, bermaksud menebang sebuah pohon yang dianggap keramat oleh penduduk desanya. Ia terusik menyaksikan hampir tiap hari orang mengunjungi pohon itu untuk berdoa sambil membawa sesajen. "Pohon ini harus dimusnahkan. Masyarakat harus diselamatkan dari kemusyrikan," begitu pikirnya.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh hardikan seorang kakek, "Hai Kyai! Langkahi dulu mayatku sebelum kau tumbangkan pohonku ini!" Kyai tak gentar. Merekapun langsung baku hantam dan ternyata Kyai jauh lebih unggul. Tinggal sekali pukul lagi si kakek akan tewas. Namun di saat yang kritis itu kakek berteriak, "Ampun Kyai. Aku menyerah, namun sebelum engkau membunuhku, ijinkan aku menyampaikan permintaan terakhir!"

"Kau orang yang baik tapi amat miskin," ujar kakek terengah-engah. "Karena itu aku ingin menawarkan win-win solution padamu. Selesai shalat Subuh besok, kau akan menemukan uang 1 juta di depan rumahmu. Aku akan menyediakannya tiap hari. Dengan uang itu kau akan lebih tenang beribadah karena kehidupanmu sudah terjamin. Kaupun akan dapat membantu fakir miskin."

Kyai setuju. Dan benar saja, selama 3 hari berturut-turut ia menemukan uang 1 juta di pintu rumahnya. Namun di hari keempat uang itu tak ada. Kyai sadar telah ditipu. Segera ia mengambil kampaknya dan mendatangi kakek penunggu pohon tersebut.

Perkelahianpun tak dapat dihindari. Namun kali ini posisinya terbalik. Pak Kyai malah tersudut. Tinggal sekali cekik ia akan tewas. Di saat terakhir Kyaipun bertanya, "Hai kakek tua, mengapa aku kalah hari ini, padahal sebelumnya aku begitu mudah mengalahkanmu?" Setan berwajah kakek itu tersenyum menyeringai, "Kau unggul waktu itu karena niatmu tulus. Tapi sekarang keikhlasanmu sudah tak ada. Kau bermaksud menebang pohon ini karena tak mendapat uang 1 juta bukan?.

Cerita diatas sebenarnya sering kita alami sehari-hari. Ada banyak stimuli yang sering membelokkan motivasi kita. Secara kasat mata, perbuatan yang kita lakukan mungkin masih sama, seperti halnya Kyai yang menebang pohon. Tapi motivasinya mungkin sudah berbeda. Toh tak ada yang tahu kecuali kita sendiri. Perubahan motivasi inilah yang sebenarnya amat menentukan kualitas perbuatan kita.

Setiap perbuatan pasti didasari oleh motivasi tertentu. Teori-teori dasar dalam SDM semuanya adalah mengenai motivasi, mulai dari Teori Kebutuhan Maslow, Teori Keadilan, Teori Harapan dsb. Benang merah dari semua teori tersebut adalah: Tak mungkin ada perbuatan yang terjadi begitu saja tanpa dilandasi motivasi apapun.

Teori motivasi terpopuler adalah teori kebutuhan. Kebutuhanlah yang mendasari tindakan kita. Ada 4 jenis manusia berdasarkan kebutuhannya. Jenis manusia pertama adalah Manusia Perut dan di bawah perut. Sesuai dengan letaknya dalam tubuh, ini menunjukkan kualitas kemanusiaan terbawah. Manusia seperti ini hidup semata-mata untuk perutnya. Inilah manusia UUD, ujung-ujungnya duit. Orang seperti ini orientasinya adalah harta, tahta dan wanita. Bahasa kerennya, economic animal atau political animal.

Jenis kedua, naik ke atas sedikit, adalah Manusia Hati. Orang ini memiliki kebutuhan sosial emosional yang tinggi, ia butuh bergaul dan memiliki banyak kawan. Ketiga, Manusia Otak. Inilah manusia yang rasional dan memiliki kebutuhan belajar yang tinggi. Keempat, Manusia Spiritual. Inilah manusia paripurna yang senantiasa mencari makna terhadap apapun yang dikerjakannya.

Sekarang, manusia macam apakah Anda? Bagaimana dengan para pemimpin kita? Ambillah beberapa contoh. Mengapa Andi Ghalib bergabung dengan PPP? Apakah untuk mencari posisi atau ia sungguh-sungguh insyaf dan bertobat? Mengapa Hamzah Haz dan Zainudin MZ berselisih mengenai 2003 atau 2004? Karena kepentingan umat ataukah sekedar mencari kekuasaan? Mengapa Mega mengijinkan Akbar menjadi tersangka? Apakah benar untuk memberantas KKN ataukah sekedar untuk meningkatkan citra Mega yang merosot karena mengutus suaminya ke Cina maupun pestanya yang mewah di Bali? Mengapa pula Golkar tiba-tiba menjadi "galak" terhadap pemerintah?.

Hanya mereka sendirilah yang tahu jawabannya. Namun pada akhirnya motivasi mereka akan terbuka. Contohnya adalah Bulogate I dan II. Coba perhatikan PKB dan Golkar. Keduanya sekarang bertukar posisi 100%. Dulu PKB bilang Pansus tak perlu, Gus Dur tak perlu mundur dst, dsb. Sekarang untuk kasus yang sama posisi PKB adalah sebaliknya. Dan ajaibnya semua argumentasi PKB dulu, kini menjadi argumentasi Golkar.

Pada akhirnya rakyatlah yang akan menilai motivasi dan ketulusan para pemimpin. Stephen Covey pernah mengatakan "Siapa Anda mengkomunikasikan jauh lebih banyak dari apa yang Anda katakan atau lakukan." Para pemimpin perlu tahu, bahwa tak sulit untuk menduga motivasi mereka yang sebenarnya. Rakyat dapat merasakan apakah mereka berjuang demi orang banyak atau demi perut mereka sendiri.

Arvan Pradiansyah adalah Dosen FISIP UI & Pengamat Manajemen SDM

Datangnya Generasi Bencana

Beberapa waktu lalu kita memiliki satu tokoh kanibal bernama Sumanto, kini ada seorang tokoh lainnya yang dijuluki Sumanti. Kasus Sumanti tak kalah seramnya dengan Sumanto. Sumanti dilaporkan agak terganggu jiwanya dan hamil di luar nikah. Tidak ada orang yang tahu kapan Sumanti melahirkan. Beberapa warga memergoki seorang bayi yang hangus terbakar di dekat kompor serta ditemukan pula potongan beberapa tulang berserakan di dekat tempat Sumanti tergeletak. Ada dugaan Sumanti telah "melahap" anaknya. Na'udzubillahi mindzalik.

Belum lama berselang, seorang ibu di Bandung yang dikenal shalihah, tega membunuh tiga orang anaknya karena khawatir akan masa depan mereka. Hal ini masih diperparah dengan berpulangnya Riza, seorang siswa SMP kelas tiga yang diduga menjadi korban smack down kawan-kawannya.

Di televisi kita pun menyaksikan begitu banyak bayi-bayi kembar siam (dempet) yang lahir di berbagai kota. Selain banyak pula bayi cacat dengan organ atau anggota tubuh tak lengkap yang terlahir dari pasangan yang sempurna. Tak terhitung pula kasus penyakit-penyakit kejiwaan yang menjadi fenomena di masyarakat, mulai dari stres berat, depresi, hingga fenomena bunuh diri.

Dampak kapitalisme

Gejala apakah ini? Bila selama ini kita tak kuasa menyaksikan bencana alam yang datang silih berganti, maka kini tiba saatnya bencana dalam dimensi lain siap menghadang. Itulah bencana dalam dimensi psikobiologis. Sejatinya, fenomena ini berawal dari semakin menggejalanya budaya kapitalisasi dan materialisme. Segala sesuatu kini diukur dengan uang dan kenyamanan. Uang menjelma menjadi tuhan baru. Karena itu, perilaku sebagian besar manusia pun berubah. Penganut gaya hidup instan semakin bertambah. Setiap masalah dan proses kehidupan selalu ingin kita mudahkan, ringkaskan dan cepat diselesaikan.

Fenomena ini mewujud dengan maraknya penggunaan bahan pengawet makanan ilegal, penyedap rasa melebihi takaran, penggundulan hutan, kabut asap, kecelakaan transportasi karena tingginya tingkat kelalaian operator dan rendahnya kualitas infrastruktur. Belum lagi ketidakpastian hukum, praktik korupsi dan budaya menyontek di sekolah serta perguruan tinggi, prostitusi, dan tentu saja praktik-praktik mutilasi harga diri.

Benang merah dari semua subfenomena itu adalah terjadinya pergeseran orientasi di mana tujuan hidup jadi lebih sederhana dan sementara. Hal ini diperparah dengan makin sengitnya perlombaan menuju tercapainya kesejahteraan melalui akses sumber keuangan. Padahal, pergeseran orientasi hidup untuk terus menghamba kepada uang akan melahirkan tekanan beruntun yang akan berakhir dengan depresi.

Pertanyaan berikutnya, mengapa kapitalisasi dapat mempengaruhi kualitas dan derajat kesehatan penduduk Indonesia? Mari kita bayangkan bila semua produsen consumers good serempak janjian dan secara serentak pula menaikkan harga yang mereka anggap pantas, maka kita semua akan tertekan karena faktor pemenuhan kebutuhan semakin sulit dicapai. Dalam kondisi seperti ini hormon cemas kita akan meningkat. Akibatnya sistem pertahanan tubuh pun akan menurun, sehingga kemungkinan mengalami kondisi sakit pun makin bertambah.

Kemungkinan lain adalah over eksploitasi sumber daya alam, hal ini terjadi karena tuntutan kebutuhan sebuah masyarakat konsumer yang pro kapitalis akan terus meningkat. Dampak yang terjadi adalah menurunnya daya dukung lingkungan, semakin bertambahnya upaya-upaya instan dan murah, serta berubahnya pola pengambilan keputusan. Akibat psikobiologis yang dapat teramati adalah banyaknya kelainan genetis yang diakibatkan oleh polutan, makanan yang kurang sehat, dan faktor stres internal.

Sebagian besar kasus-kasus psikobiologis yang terjadi hanyalah sepenggal dari proses panjang investasi bencana di masa yang lalu. Bayi-bayi cacat adalah bentuk pertanggungjawaban kita secara fardhu kifayah karena tidak berperan aktif dalam mengoptimalkan fungsi lingkungan, makanan dan gaya hidup. Meningkatnya persentase pengidap penyakit kelainan jiwa menjadi bagian integratif semua itu. Fenomena Sumanto-Sumanti dan lainnya adalah bagian dari bencana yang kita rancang, kerjakan, dan rasakan sendiri hasilnya. Ketidakpedulian kita selaku khalifah terhadap hal-hal di sekitar kita ternyata berbuah malapetaka.

Dampak media

Malapetaka terbesar yang kini harus kita hadapi adalah dampak media. Bila Riza meninggal karena di-smackdown, maka itu belum seberapa. Sesungguhnya dampak terbesar yang telah ditanamkan acara semacam itu adalah perubahan jaras pengambilan keputusan dan sistem asosiasi preferensi di benak kita. Mereka yang terbiasa mengedepankan lintas pro-adrenergik akan menjadi orang yang menggunakan pendekatan kekerasan, menghalalkan segala jalan, mencari cara termudah, sangat menyukai kesenangan, kenyamanan serta kenikmatan. Dengan kata lain generasi penonton smackdown ini akan tumbuh dan berkembang menjadi generasi hedonis sejati. Kita akan lihat dampaknya 10 atau 20 tahun ke depan saat mereka sudah menjadi golongan pemimpin di berbagai tingkatan.

Lihatlah pengalaman pahit sejarah peradaban umat manusia sebelumnya. Bangsa Romawi menjelang kejatuhannya tergila-gila kepada acara gladiator yang menyabung manusia sampai tewas salah satunya. Lalu di malam-malam hari kota Roma akan menjadi ajang Caligula, pesta seks yang gila-gilaan mengumbar nafsu syahwat. Seiring budaya tersebut, kita pun melihat "kegilaan" lainnya. Eksploitasi kaum perempuan dan perbudakan sesama manusia marak di mana-mana.

Bencana psikobiologis dapat terjadi karena tayangan-tayangan tersebut seolah menjadi materi pembelajaran yang akan langsung diimitasi, direpilkasi, dan dikembangkan. Bahkan sebagian di antaranya diangkat menjadi memori jangka panjang yang sangat menentukan.

Dalam kesempatan ini saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita akan dihisab berdasar aktifitas kita beserta dampaknya lengkap sampai proses turunan dan ikutannya. Para produser acara televisi, pemilik televisi, pelaku atau aktornya, pembawa acara, pegawai transmisi televisi, pemerintah, pengawas pertelevisian, dan tentu juga kita semua yang lalai dengan tidak saling mengingatkan akan dimintai pertanggungjawaban. Tauhid Nur Azhar

Mari Meraih Pahala dengan Al-Qur'an

"Barangsiapa yang membaca satu huruf Alquran, baginya satu kebaikan. Satu kebaikan itu akan menjadi sepuluh kali lipat" (HR Tirmidzi)

Imam An-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin menyatakan bahwa hadis ini berstatus hasan shahih. Tema utama yang diangkat adalah keutamaan membaca Alquran serta janji Allah SWT bagi orang yang melakukannya. Dalam hadis ini, Rasulullah SAW memotivasi para sahabat-dan kaum Muslimin umumnya-untuk selalu membaca Alquran.

Abdul Aziz Abdul Rauf mencatat empat urgensi membaca Alquran. Pertama, menjaga kesucian hati. Setiap jiwa cenderung kepada hal-hal yang melalaikan dari mengingat Allah SWT. Dengan membaca Alquran ia akan mendapat ketenangan jiwa dan petunjuk dari Allah, sehingga ia mampu menjaga fitrahnya.

Kedua, menambah simpanan pahala di sisi Allah. Sungguh sangat melimpah kebaikan bagi orang yang membaca Alquran. Satu huruf saja akan dibalas sepuluh. Ketiga, dapat menumbuhkan motivasi untuk melakukan amal saleh yang lain. Ada sebuah kaidah: Setiap amal saleh akan membawa pada amal saleh yang lain. Sebaliknya, setiap maksiat sekecil apapun akan membawa pada maksiat yang lain.

Keempat, Alquran akan menjadi pembela bagi pembacanya di akhirat. Rasulullah bersabda, "Pada hari kiamat didatangkan Alquran dan ahlinya, yaitu orang-orang yang mengamalkannya di dunia. Surat Albaqarah dan Ali Imron pun maju mendampingi dan membelanya (HR Muslim).

Dalam kenyataannya, kita sering mengalami kesulitan untuk istikamah membaca Alquran. Dengan berbagai alasan, lidah kita sangat jarang melantunkan ayat-ayat suci, kecuali yang dibaca pada waktu shalat. Ada beberapa hal yang menyebabkan kita tidak istikamah membaca Alquran. Pertama, menyepelekan saat sehari tidak membaca Alquran. Hal ini berdampak pada tidak adanya keinginan untuk segera kembali kepada Alquran. Kedua, lemahnya wawasan terhadap apa dan bagaimana Alquran tersebut, sehingga tidak termotivasi untuk bersungguh-sungguh dan istikamah membacanya. Ketiga, tidak memiliki waktu wajib bersama Alquran. Keempat, terpengaruh oleh lingkungan yang tidak memiliki perhatian terhadap Alquran. Dan kelima, tidak tertarik dengan majelis yang menghidupkan Alquran.

Para sahabat merupakan model ideal dalam membaca Alquran. Kebanyakan mereka mengkhatamkan Alquran dalam satu bulan, ada juga yang mampu khatam hanya dalam satu minggu, bahkan ada yang khatam dalam jangka waktu tiga hari. Rasulullah SAW tidak menganjurkan para sahabat untuk khatam kurang dari tiga hari.

Membaca adalah langkah awal untuk menunaikan hak-hak Alquran. Menurut Hasan Al-Banna, ada tiga kewajiban yang harus ditunaikan seorang Muslim berkaitan dengan Alquran, yaitu memperbanyak membacanya dengan niat taqarrub kepada Allah; menjadikannya sumber hukum yang selalu dikaji serta dijadikan rujukan; dan menjadikannya sebagai sumber yang harus diterapkan dalam kehidupan.

Memang tidak cukup hanya sekadar membaca, harus ada upaya men-tadabburi (mengkaji dan memahami), menghafal dan mengamalkannya. Dengan cara ini, Alquran bisa menjadi hiasan hati, merasuk ke relung jiwa sehingga terpancarlah cahaya Alquran dari kepribadian kita. Dan itu tidak akan pernah terwujud kecuali kita memulainya dengan membaca. Wallahu a'lam

Galleri Festival Alfurqoniyah 2007

Sambutan ketua panitia FAL 2007 ; Ust. Mahdar H

Salah satu peserta Festival Marawis

Penyisihan Cerdas Cermat yang diikuti oleh 203 peserta

Aa Gym Masa Depan

Kalau ini, pasti Tuti Alawiyah masa depan

Pelatihan Life Skill




Sebagai bagian dari upaya peningkatan peran dan kiprah pesantren di tengah-tengah masyarakat, pada tanggal 6 Mei 2007 akan dilaksanakan Pelatihan Keterampilan Hidup (Life Skill) di bidang Home Industry. Kegiatan yang bekerja sama dengan HMI MPO Cabang Bogor ini ditujukan untuk mereka-mereka yang putus sekolah, atau alumni-alumni yang belum mendapat kesempatan bekerja.
Hasil utama dari pelatihan ini diharapkan dapat menumbuh kembangkan sikap wirausaha di kalangan generasi, semangat untuk menciptakan lapangan kerja. Satu hal yang memang selama ini masih terhitung langka di kalangan generasi muda Indonesia.
Penyakit yang sejak tahun 1970-an telah melanda masyarakat sebagian besar dunia berkembang, yaitu penyakit yang sering diistilahkan dengan "Penyakit Diploma". Penyakit yang sekilas justeru tampak menggembirakan karena besarnya perhatian masyarakat terhadap pendidikan anak bangsa, sehingga mereka menginginkan para generasi penerusnya memperoleh pendidikan yang tinggi. Namun di sisi lain, pendidikan yang dijalani telah terjerumus pada tujuan yang sempit dan sangat pragmatis, yakni "secarik Ijazah/sertifikat". Pendidikan ditujuan bukan untuk mencerdaskan dan mencerahkan diri, tapi untuk mencerahkan "kehidupan materi masa depan" dengan mengandalkan Ijazah dan sertifikat yang diraih.
Sebuah pola dan tujuan pendidikan yang pada gilirannya telah menyebabkan sebagian besar anak bangsa ini menjadi binaan-binaan pendidikan yang serba instant. Sekolah Indonesia untuk kemudian tidak lebih menjadi "pabrik-pabrik" yang memproduksi "buruh-buruh" siap suruh dan siap menderita dibawah kaki dan kekuasaan kapitalisme. Sekolah Indonesia telah kehilangan maknanya sebagai tempat untuk mencerahkan anak bangsa.
Life Skill (Keterampilan Hidup) adalah hal yang belum cukup terjamah di dunia pendidikan di negeri ini. Karena itulah, pelatihan ini diharapkan dapat menjadi "sangat" bermanfaat, bukan semata-mata untuk menciptakan perbaikan sistem ekonomi para remaja putus sekolah atau pengangguran, tapi lebih jauh dan yang terpenting adalah untuk "mencerahkan" mereka menjadi manusia-manusia yang terampil dan memiliki mental kewirausahaan dan kemandirian.

Festival Al-Furqoniyah







A.

Tema

Gali Potensi Raih Prestasi

B.

Waktu dan Jenis Kegiatan

Festival Marawis : Jumat, 27 April 2007

Festival Anak Sholeh : Sabtu, 28 April 2007

Bazar Pendidikan : Jum`at-Minggu, 27-29 April 2007

C.

Maksud dan Tujuan

Memelihara dan meningkatkan ukhuwah Islamiyah

Memupuk semangat Fastabiqul Khairat

Menggali dan mengembangkan potensi dan bakat siswa

D.

Pendaftaran

Waktu : 1 s/d 25 April 2007

Pukul : 07.00 – 17.00 WIB

Tempat : Sekretariat Panitia Festival Al-Furqoniyah 2007 Kp. Citugu Ds. Tugujaya Kec. Cigombong Bogor. Telp (0251) 220526-220556 Hotline : 08121113849 (Mahdar H.) 081386474658 (Ust. Latif)

Biaya :

- Stand Bazar : Rp 50.000/stand (ukuran 2x3 m)

- Lomba perorangan : Rp 10.000 / peserta

- Lomba group : Rp 25.000 / group

E.

Technical Meeting

Sabtu, 21 April 2007 Pkl. 13.00 WIB

F.

Ketentuan Kegiatan / Lomba

1. Festival Marawis

- Peserta berasal dari Group Marawis yang berasal dari wilayah Bogor dan sekitarnya.

- Setiap group peserta terdiri dari 10-15 orang

- Peserta membawakan satu lagu wajib (Annabi, Ana Habbaitak Versi Sholawat, Ya Nabi Salam) dan satu lagu pilihan

- Menggunakan peralatan murni Marawis

- Penilaian terdiri dari : Vokal, Variasi dan Harmonisasi, Performance, Kekompakan.

2. Dacil (Da’i Cilik)

- Peserta berasal dari siswa/i setingkat SD/MI yang berasal dari wilayah Bogor dan sekitarnya.

- Tema pidato : Meneladani Akhlak Nabi Muhammad Saw, Bencana dan Taubat, Taat Kepada Orang tua, Kewajiban Menuntut Ilmu.

- Peserta diberi waktu 7-10 menit

- Penilaian : Isi, Performance, Ekpresi, Intonasi, Penguasaan audiens.

3. Cerdas Cermat antar SD/MI

- Peserta berasal dari siswa/i setingkat SD/MI yang berasal dari wilayah Bogor dan sekitarnya

- Setiap group peserta terdiri dari 3 (tiga) orang putra maupun putri

- Babak penyisihan akan dilaksanakan secara serentak dengan system jawaban tertulis.

- Peserta babak Semifinal diambil dari 10 besar peserta pada babak penyisihan dan dilaksanakan secara serentak dengan system tertulis.

- Peserta babak Final akan diambil dari 3 besar peserta yang lolos pada babak Smeifinal dan dilaksanakan dengan system jawaban lisan.

- Materi pertanyaan meliputi : Pengetahuan Umum, Agama, dan Sain yang diambil dari kurikulum pelajaran setingkat MI/SD

4. Nasyid

- Setiap group peserta terdiri dari 5-7 orang.

- Setiap peserta membawakan satu lagu nasyid wajib (Jagalah hati, 25 Nabi, Sifat-sifat Nabi) dan satu nasyid bebas/pilihan

- Peserta diperbolehkan meggunakan alat musik tabuh dan atau iringan musik yang telah direkam dalam bentuk CD/Kaset

- Penilaian terdiri dari : Performance, Kekuatan Vocal, Harmonisasi dan Kekompakan.